Darah Muda, Betapa Gobloknya Kita

Jika waktu bisa diputar ulang dan kau diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, ke masa mudamu, apa yang akan kaulakukan?

Pertanyaan itu kerap menggoda dan membuat sebagian besar dari kita berandai-andai, termasuk aku. Ya, andai diberi kesempatan untuk kembali ke -katakanlah- 20 tahun lalu, apa yang akan kulakukan?

Jawabannya mudah. Aku tak akan mengiyakan ajakan seorang kawan ketika ia memintaku untuk menemaninya ke suatu tempat. Dengan begitu, aku tak akan bertemu A dan menikah dengannya setahun kemudian. Dengan begitu, aku tak akan terjebak dalam pernikahan serupa neraka dan bercerai.

Bagaimana jika ke 15 tahun lalu?

Itu juga mudah. Aku tak akan pergi ke belakang dormitory sesaat setelah patah hati. Dengan begitu, aku tak akan bertemu dengan B, berpacaran, dan menikah dengannya setahun kemudian. Dengan begitu, aku tak akan terjebak dalam pernikahan kedua yang juga serupa neraka.

Bagaimana jika ke 10 tahun lalu?

Apalagi itu. Mudah sekali. Aku tak akan pergi ke Kebun Seni saat tahun baru. Dengan begitu, aku tak akan bertemu C, berpacaran, menikah, dan terjebak dalam pernikahan serupa neraka untuk ketiga kalinya.

Bagaimana jika ke tujuh, 5, atau 3 tahun lalu?

Jawabannya akan tetap mudah. Tetapi bukan di situ letak masalahnya.


Jika dilihat dari jawaban-jawabanku, aku selalu ingin mengubah peristiwa: tidak ingin bertemu siapa, tak ingin pergi ke mana.

Padahal, jika aku cukup punya otak untuk berpikir, semua itu tak akan mengubah apa-apa karena memang seperti itulah semesta bekerja. Maksudku, setiap saat kita ditakdirkan bertemu seseorang yang baru, bukan? Katakanlah, berpapasan dengan orang lain di jalan, jajan dari tukang cuanki yang tiba-tiba lewat depan rumah, diperkenalkan dengan seseorang oleh kawan, dan sebagainya.

Dalam arus bernama waktu, orang-orang yang kita temui adalah aliran itu sendiri. Tak bisa kita cegah sepenuhnya, pun tidak bisa kita kendalikan.

Begitu pula dengan pertemuanku dengan ketiga bajingan tersebut. Mereka adalah orang-orang yang ada dalam arus waktuku. Cepat atau lambat, aku akan dipertemukan dengan mereka dengan cara apa pun.

Satu-satunya yang bisa kukendalikan, satu-satunya hal yang bisa kuubah adalah KEPUTUSANKU saat itu, ketika aku bertemu mereka.

Dua puluh tahun lalu, aku bisa saja bertemu A dan MEMUTUSKAN untuk tidak begitu saja berlari ke pelukannya hanya karena dia satu-satunya lelaki yang mau denganku. Lima belas tahun lalu, aku bisa saja bertemu B, tetapi mengambil KEPUTUSAN yang berbeda. Sepuluh tahun lalu, aku bisa saja datang menikmati acara tahun baru dan bertemu C, tapi tidak lantas … begitu seterusnya.

“Tapi, kan itu cinta dan kalian memang ditakdirkan bersama.”

Persetan dengan cinta!


Kau bisa bayangkan, dalam rentang waktu 10 tahun, sejak usia 20-30 kerjaku cuma kawin cerai, kawin cerai. Mirip binatang, memang. Untungnya semua kegilaan itu berhenti. Sekarang, di usia 38, aku mencatatkan rekor terpanjang tidak menikah dalam sejarah hidupku sendiri. Delapan tahun! Benar-benar prestasi.

Meskipun begitu, dalam alam pikirku yang naif (atau goblok?), bahkan setelah babak belur diganyang amuk badai kehidupan, aku kerap menganggap bahwa peristiwa-peristiwa pahit itulah yang menjadikanku seperti sekarang. Mengambil hikmah, istilahnya.

Padahal, kalau dipikir ulang, aku bisa saja menjadi seperti sekarang (baca: jadi penulis, desainer, dan web developer) tanpa harus melalui neraka selama 10 tahun dulu.

“Tapi bagus lho, kamu jadi perempuan yang kuat.”

Kuat apanya? Kalau aku kuat, aku tak akan jadi pasien rumah sakit jiwa, asal kau tahu.


Jika direfleksikan ke masa sekarang dan masa depan, hal yang sama akan terus terulang dan terulang dan terulang. Kelak, kita akan dipertemukan dengan berbagai macam orang. Orang-orang yang ada dalam arus waktu kita.

Dalam kasusku, mungkin aku akan bertemu dengan D, E, F, dan seterusnya.

Lalu, apa pelajaran yang bisa dipetik dari kebodohan-kebodohanku di masa lalu?

Respons. Keputusan yang kelak kubuat.

Aku harus belajar untuk tidak begitu saja jatuh cinta. Aku harus belajar untuk memikirkan masak-masak sebelum menikah dengan seseorang. Aku harus belajar untuk menimbang dengan matang sebelum membuat keputusan agar diriku di masa depan tak perlu kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kekacauan yang kubuat di masa kini.

“Ngomong doang, sih, gampang, praktiknya?"

Ya memang tidak gampang. Apa, sih, yang mudah dalam hidup ini?

Itu baru perkara cinta. Belum lagi perkara lainnya. Betapa banyak hal-hal yang ingin kita ubah dari masa lalu. Keinginan yang sebetulnya tidak perlu karena ya buat apa?

Toh, mau kita menyembah setan sekalipun, jam pasir waktu tak akan bisa diputarbalikkan. Masa lalu akan tetap jadi masa lalu seperti dalam lirik lagunya Inul Daratista. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak bisa begitu saja dihapus dari sejarah hidup kita.

Akui saja kalau dulu kita goblok. Akui saja kalau dulu kita lemah. Akui saja kalau kita salah. Akui saja kalau peristiwa-peristiwa pahit itu memang terjadi dan kita terluka karenanya. Akui saja kalau kita memang trauma.

Setelah itu, kau boleh melupakan semuanya, tegakkan bahu, dan hiduplah untuk hari ini. Untuk masa depan.

Oh, satu lagi, jangan goblok sepertiku!