Kekal Menyebutmu
Di dalam kisah cinta paling nyeri, kitalah dua orang Sisifus yang tak lelah mendorong batu ke atas bukit untuk kemudian mengulang luka yang sama, rasa sakit yang sama. Sebab hidup kadang hanya ritual, kita akan terus kembali ke titik awal.
Kekasih, seorang nakhoda tak bisa berlayar di dua kapal yang berbeda. Salah satu kapal akan karam dimamah air garam; ia atau aku. Tapi barangkali, aku tak pernah memiliki badan kapal sendiri. Hanyalah penumpang gelap di kapalmu yang gemerlap.
Maka untuk kali ini saja, antarkan aku ke tepian, ke pepasir kesunyian. Aku akan menjelma dermaga, kau bisa singgah dengan sekoci kecil. Kita bisa bercakap tentang badai, menertawakan kecipak air laut, atau kau bisa mengukir namamu di pelepah dada kayuku, lalu kau bisa pulang sambil membawa perbekalan. Agar setelah liburanmu yang singkat, kau kembali siap menjadi nakhoda paling lesat.
Mungkin, aku akan melambaikan tangan kepadamu. Dan kau bisa berjanji untuk kembali suatu hari nanti. Mungkin, aku akan percaya kata-katamu lalu menunggu. Dan kau bisa singgah jika ada waktu.
Kekasih, tak ada yang lebih getir selain menjadi dermaga. Yang kekal menyebutmu; seseorang yang tak pernah ditakdirkan untuk menjadi nakhodaku.
(Bandung, 18 Maret 2014)