Mengapa Urang Sunda Tidak Suka Merantau?
Mengapa urang Sunda tidak terlalu suka merantau?
Pertanyaanmu akan kubalas dengan pertanyaan lagi, “Jang naon aimaneh?”
Begini, dari perspektif urang Sunda yang mendiami Jawa Barat dan Banten, merantau keluar tatar Pasundan adalah sesuatu yang asa teu kudu. Sebab di sini, kami memiliki segalanya untuk melangsungkan hidup. Pertanian, peternakan, industri, apa pun.
Untuk sekolah? Untuk kuliah? Dari 50 PTN terbaik se-Indonesia, 8 di antaranya ada di Jawa Barat. Belum lagi kampus-kampus swastanya. Jadi kalau ada peribahasa yang mengatakan “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China”, kami memiliki prinsip berbeda yaitu “Tuntutlah ilmu sampai Jatinangor saja”.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan, urang Sunda juga terkenal kreatif. Bila kami tidak menemukan sesuatu yang kami butuhkan, ya kami buat sendiri. Seblak adalah bukti nyata (naha jadi seblak?). Ok, kuganti dengan contoh yang lebih konkret yaitu 1001 penganan yang berasal dari satu bahan: aci alias tepung kanji. Kami punya cilok, cilor, cireng, cimol, cimin, dan … batagor. Pokoknya, apa pun makanannya, acilah jawabannya.
Bukan itu saja, kami juga berusaha menyabotase makanan khas daerah lain, pempek misalnya. Untuk yang satu ini aku betul-betul murka pada sukuku sendiri karena bagiku pempek adalah sesuatu yang suci dan tak terganti.
Dan asal kau tahu, di Bandung sini ada juga penjual papeda, makanan khas Papua. Jika papeda asli menggunakan tepung sagu, urang Sunda membuatnya dari … ya betul, tepung kanji.
Hanya satu jenis makanan yang tidak bisa kami sabotase: masakan Padang. Pertama karena orang Minang sendiri telah mengukuhkan eksistensinya di seluruh penjuru Jawa Barat dengan membuka rumah makan padang original. Kedua karena masakan Sunda sendiri terkenal manis, bertolak belakang dengan masakan padang yang asin molelel.
Sunda Pride
Masyarakat Sunda juga dikenal sebagai masyarakat yang menganut paham “Sunda pride”. Jika ada suku yang secara terang-terangan mendirikan negara di dalam negara, kamilah orang-orang pemberani itu.
Saking bangganya, jika stereotipe kerap disematkan oleh satu kelompok (baca: suku) terhadap kelompok lain, dalam hal merantau justru kamilah yang melabeli diri kami sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Yosef Hilarius Timu Pera, sosiolog dari UI.
Itu pulalah yang menyebabkan praktik-praktik amalgamasi jarang terjadi. Bukan, bukan karena kami tidak tertarik pada lawan jenis dari suku lain. Bukan juga karena ingin mempertahankan trah darah murni. Tetapi karena kami tidak pergi ke mana-mana, ya ketemu jodohnya di situ-situ juga.
Kalaupun ada urang Sunda yang menikah dengan suku atau warga negara lain, hampir bisa dipastikan mereka bertemunya di Jabar.
Namun, patut diingat bahwa Sunda pride tidak berlaku untuk urusan budaya (terutama bahasa dan kesenian). Di masyarakat perkotaan di Jawa Barat, ngamumule budaya Sunda ya sebatas memakai pangsi dan kebaya di hari Rabu, lain tidak.
Merantau Adalah …
Definisi merantau mengalami pergeseran makna di Sunda. Jika suku-suku lain memaknai merantau sebagai pergi mengadu nasib ke tempat yang jauh (luar provinsi, luar pulau, luar negeri), kami mereduksi jarak tempuh dengan sengaja.
Sebagai contoh, pindah kecamatan saja sudah termasuk merantau. Orang Cicalengka yang merantau ke Kota Bandung bisa dikatakan cukup hebat. Cicalengka ada di Kabupaten Bandung, btw.
Selain makna, kegiatan merantau juga bukan sesuatu yang perlu dibanggakan di masyarakat Sunda. Suku lain, Minang dan Jawa misalnya, menganggap merantau sebagai prestasi sekaligus uji nyali. Kalau tidak merantau, kau akan dicap sebagai pecundang selamanya. Di sini mah rek ngarantau heug, teu oge kajeun.
Bahkan, ketika suku lain begitu tertarik dengan Jakarta, urang Sunda justru sebaliknya. Kalau memang perlu banget merantau karena motif ekonomi, kami lebih memilih ke Karawang atau Bekasi yang notabene di Jawa Barat juga.
Apalagi kalau nanti ibu kota resmi pindah ke Kalimantan. Jangan harap kami repot-repot menyeberangi lautan untuk sekadar menjajal ibu kota negara.
Pola Pengasuhan
Kalau kau bertanya pada urang Sunda yang tidak berani merantau, kau akan mendapat jawaban tidak diizinkan orang tua. Memang begitulah pola pengasuhan di suku kami, termasuk orang tuaku sendiri. Orang tua Sunda terlalu khawatir bila anak-anaknya tinggal jauh dari rumah.
Jadi jangan heran bila suatu saat kau berkunjung ke Jawa Barat dan menemukan rumah-rumah (tak peduli ukurannya) yang diisi beberapa generasi. Kami lebih memilih tinggal berdesakan dan tak memenuhi standar kesehatan daripada harus pindah dengan alasan tak masuk akal seperti merantau.
Merantau untuk mengakses pendidikan? Kan, sudah kukatakan bahwa Jawa Barat memiliki institusi-insititusi pendidikan terbaik. Ngapain sekolah jauh-jauh kalau bisa sekolah lima langkah dari rumah?
Aku curiga jangan-jangan sistem zonasi yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2017 lalu sebetulnya terinspirasi dari urang Sunda.
Ngomong-ngomong tentang pola asuh, di keluarga besarku aku adalah si paling rebel. Sudah keluar dari rumah sejak usia 18 dan tak berniat untuk kembali. Di usia 23 tahun aku sudah merantau ke Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Sempat berniat menetap di Batam andai pernikahanku tak kandas di tengah jalan.
Well, aku dan mantan suamiku memang sepakat untuk tidak berada di pulau yang sama untuk mencegah kami saling membunuh. Tanah Kepri dan Nusa Tenggara terlarang untukku, begitu juga Pulau Jawa terlarang untuknya.
Selama merantau, aku hanya pulang jika di bawah ancaman dicoret dari KK dan tak mendapat warisan. Tetapi karena sekarang aku memang sudah keluar dari KK Bapak dan orang tuaku tak punya harta benda untuk diwariskan, bisa dibilang aku tak punya alasan untuk pulang.
Tahun 2010 aku memang memutuskan untuk kembali ke Bandung, tinggal di rumah orang tua selama satu tahun lalu memutuskan untuk merantau lagi ke … Cimahi. Hey, meski jarak dari rumah hanya 6 km, tapi itu sudah beda kota jadi dikategorikan sebagai merantau.
Tahun 2020 aku pulang kampung ke Bandung. Namun bila kau berpikir aku akan kembali tinggal di rumah orang tua, kau salah besar. Karena jiwa merantau dan rebel-ku sudah terpatri di urat nadi, aku memilih tinggal terpisah dengan mengontrak rumah.
Banyak orang yang bertanya, “Orang tua sama-sama di Bandung, tapi kok ngontrak?”
Lucunya, sukuku sendiri tidak menganggapku sebagai perempuan dewasa yang mandiri karena itu. Tinggal terpisah dari orang tua membuatku dicap tak tahu balas budi dan anak tak tahu diri.
Perempuan Sunda Adalah Pengecualian
Sebagai asli Bandung, harus kuakui bahwa meskipun kami punya stok geng motor yang tak terbatas, para lelaki dengan darah Sunda murni memang penakut. Mereka, terutama urang Bandung, kurang berani mengambil risiko terlunta-lunta di perantauan. Gagasan mengadu nasib di negeri orang sepertinya kurang menggairahkan. Memang dibutuhkan data valid untuk mendukung hipotesis ini, tetapi begitulah realitas yang kutemui sehari-hari.
Namun jangan pernah kauragukan keberanian para perempuannya. Perempuan Sunda, selain terkenal cantik-cantik, menurutku perempuan Sunda juga si paling berani.
“Tapi kenapa setelah menikah perempuan Sunda jarang mau diajak keluar dari rumah untuk tinggal di kampung halaman suami atau daerah lain?"
Ya, itu karena kamu kurang kaya atau warisanmu kurang banyak saja. *digampar
Ya, Namanya Juga Stereotipe
Berdasarkan data asal provinsi Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dilansir Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Jawa Barat menduduki peringkat ketiga dengan jumlah 29.001 orang. Jawa Timur menduduki peringkat pertama sedangkan peringkat kedua dipegang Jawa Tengah.
Apakah ini berarti urang Sunda pada hakikatnya senang merantau? Belum tentu. Ada 49 juta penduduk di Jabar, 29 ribu hanya sekitar 0.05% dan rasanya tidak cukup merepresentasikan. Belum lagi terdapat variabel lain: tidak semua penduduk Jabar adalah urang Sunda. Menurut BPS, suku Sunda di Jabar berjumlah 70% dari total penduduk.
Ya … namanya juga stereotipe, bisa benar bisa juga tidak. Meski disematkan pada kelompok, akan selalu ada pengecualian dan sanggahan berupa “Aku mah teu kitu,” atau “Apa cuma aku yang …?” Termasuk aku yang mengaku si paling rebel.
Pun, terlepas dari data dan perjuangan individu, tidak ada upaya signifikan dari kami sebagai suku untuk menghapus stereotipe tersebut.
Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa urang Sunda tak suka merantau, kami sih iya-iya aja. (eL)