Ngobrol Dengan Rice Cooker dalam Rangka Mengubah Tatanan Dunia
Wah, sudah mulai kambuh nih. Oke, waktunya ngobrol dengan rice cooker."
Celotehan itu kerap aku cuitkan di Twitter. Sialnya, orang-orang kerap menganggap ini bercanda, padahal tidak.
Aku memang ngobrol, lebih tepatnya aku berbicara sementara mereka hanya mendengarkan. Dengan rice cooker, dengan kran air, lampu meja, cangkir kopi, galon, dan benda-benda lain. Jika bosan berbicara dengan benda mati, maka aku akan ngobrol dengan pohon. Sialnya, pohon kaktus yang ada di samping meja sudah lama mati, jadi kalau mau ngobrol dengan pohon aku akan pergi ke kebun sebelah dan mulai membuka dialog dengan pohon jagung atau pisang atau pohon apa pun yang ada di sana.
Kedengarannya seperti orang gila ya? Tidak juga. Kalau kau berbicara dengan rice cooker dan kau mendengarnya menjawab, benar-benar mendengar mereka bersuara dan berbicara, nah itu baru “gila”.
Kebiasaan ini sudah terjadi sejak aku masih kecil dan jika kau memperhatikan anak-anak di sekelilingmu, kau akan mendapati mereka juga berbicara dengan benda-benda. Jadi, menurutku, itu bukan hal aneh.
Kakak sepupuku tahu kalau aku sering “ngomong sendiri” dan itu kerap menjadi bahan tertawaan di antara kami. Aku yakin keluargaku juga tahu, tapi mereka tidak peduli.
Ini juga bukan hal unik atau istimewa karena aku yakin di luar sana banyak orang yang sama sepertiku.
Jadi, apa saja yang biasanya kami -aku dan rice cooker- perbincangkan? Ya banyak.
Misalnya, aku bercerita soal buku John Naisbitt yang kubaca delapan belas tahun lalu dan bagaimana ramalan-ramalannya menjadi kenyataan. Tentang konspirasi FPI dan polisi. Tentang kartel narkoba. Tentang pemikiran-pemikiran Chomsky. Tentang strategi mengubah tatanan dunia berdasarkan perspektif film “Mr. Robots”.
Tentang tubuh perempuan dan kaitannya dengan kutukan diusir dari surga. Tentang para aktivis yang menggonggong soal kesejahteraan sosial padahal mereka sendiri tidak tahu cara membuat diri dan keluarga mereka sejahtera.
Ya, omong kosong semacam itu. Omong kosong yang tidak akan pernah aku bicarakan dengan manusia lainnya.
Kenapa tidak ngobrol soal hal-hal itu pada manusia?
Percayalah, aku pernah mencoba. Aku pernah berkata seperti ini pada orang yang kupikir punya pemikiran cukup terbuka, “Menurutku malaikat itu bukanlah entitas tunggal, melainkan departemen atau kementrian. Misalnya, Raqib Atid yang bertugas mencatat amal baik dan buruk manusia, bukanlah benar-benar malaikat bernama Raqib dan Atid, tapi departemen yang di dalamnya banyak sekali malaikat.”
Bukannya menyanggah dengan kitab atau ilmu pengetahuan atau mengajak diskusi, dia malah mencapku tidak beriman.
Di lain waktu, pada orang yang berbeda, aku pernah berkata begini, “Bagaimana jika sebetulnya galaksi tempat kita tinggal ini hanyalah sebuah kerlap-kerlip yang berada dalam loker di sebuah stasiun alien seperti di film MIB?”
Tanggapan orang itu cuma, “Ngomong naon sih maneh?”
Begitulah, tidak semua hal perlu -atau bisa- dibicarakan dengan manusia lainnya. Sering kali, hal-hal seperti itu hanya bisa kita obrolkan dengan benda-benda mati seperti rice cooker atau kran air.
Tapi kan mereka tidak bisa menjawab.
Ya justru karena itu. Sebab tidak semua hal di dunia perlu dijawab, beberapa di antaranya harus dibiarkan sebagai pertanyaan atau sekadar gumam-gumam.
Ah, teuing anyinglah!