Praktik Diskriminasi Gender Pada Anak yang Sesat dan Menyesatkan

“Kamu anak lelaki, tidak boleh menangis. Tidak boleh cengeng."

“Kamu anak perempuan, harus pandai memasak."

“Masa anak lelaki main boneka? Mau jadi apa kamu?"

“Masa anak perempuan sukanya main perang-perangan? Mau jadi apa kamu?"

Kita tentu kerap mendengar kalimat-kalimat seperti di atas. Kalimat-kalimat yang sering diucapkan oleh ibu, bapak, paman, bibi, dan orang dewasa lain di sekeliling kita. Sialnya, saat dewasa kita kerap meniru dan mengatakan kalimat yang sama pada anak-anak kita.

Jika tidak dihentikan, tongkat estafet ini akan terus bergulir dari satu generasi ke generasi, melahirkan lebih banyak lagi generasi yang gagap gender. Bukan tidak mungkin juga, kalimat yang sama akan membentuk para lelaki misoginis dan perempuan feminazi di masa depan.

Sebagai ibu dari dua orang anak -lelaki dan perempuan-, aku sadar betul bahwa kita semua berusaha keras mempersiapkan masa depan gemilang untuk anak-anak kita. Membentuk pondasi agar kelak mereka tidak jadi sampah masyarakat atau beban peradaban. Tapi kita lupa bahwa ada beberapa mata rantai pola pengasuhan yang harus diputus. Berhenti di kamu, kalau kata anak Twitter.

Karena ini bukan artikel parenting -dan tidak akan pernah jadi artikel parenting-, juga seperti percapakanku dengan Ndoro Kakung di Merauke setahun silam, tak pernah ada metode pengasuhan yang tepat untuk semua keluarga. Maka, kali ini aku hanya menawarkan sudut pandang. Lain tidak.

Membedakan Jenis Kelamin dan Gender Anak

Kita, para generasi Y a.k.a millenial dan generasi sebelumnya, tumbuh bersama anggapan bahwa jenis kelamin dan gender adalah sesuatu yang sama. Lalu ketika dewasa dihadapkan pada fenomena orientasi seksual dan gender yang semakin terbuka. Tidak heran jika saat menjadi orang tua banyak yang kebingungan.

Sepengetahuanku, jenis kelamin, gender, identitas gender, ekspresi gender, dan orientasi seksual adalah 5 hal yang berbeda tapi saling berarsiran. Seperti diagram venn.

Jenis kelamin adalah program bawaan: lelaki dan perempuan. Ada juga kondisi khusus yang membuat jenis kelamin seseorang sulit diidentifikasi karena kelainan jumlah kromosom dan sebagainya, tapi kita tidak akan membahas itu.

Apa perbedaan laki-laki dan perempuan? Biologis, lain tidak. Perempuan punya vagina dan 46 kromosom xx, sedangkan lelaki punya penis dan 46 kromosom xy.

Ini hal yang tidak sulit diidentifikasi, bukan? Kita tentu tahu jenis kelamin anak-anak kita.

Selain organ-organ reproduksi, anak lelaki dan perempuan pada dasarnya sama. Coba ingat-ingat ketika mereka masih bayi. Lapar nangis, bosan nangis, popoknya basah nangis, sama kan? Semakin besar, mereka akan tumbuh sesuai “perintah” kromosomnya.

Kitalah, orang tuanya, yang justru memberikan pembeda-pembeda terlalu dini.

Gender adalah konstruksi sosial, terkait peran seseorang di masyarakat. Gender didefinisikan sebagai maskulin dan feminim. Konstruksi gender -dalam hal ini pembagian peran- juga terjadi dalam keluarga. Misalnya, ayah bertugas bekerja untuk pemenuhan nafkah keluarga, ibu bertugas mengurus rumah tangga.

Gender bersifat cair, tergantung kesepakatan. Jadi jangan heran jika ada keluarga yang istrinya bekerja sementara suaminya mengurus rumah.

“Yo ndak bisa, laki-laki itu harus bekerja, masa perempuan yang disuruh kerja?”

Lho Anda siapa berani-beraninya ngurusin rumah tangga orang?

Peran laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat dan keluarga tidak selalu segaris lurus dengan jenis kelaminnya. Stereotip dan doktrin yang mengatakan bahwa laki-laki harus begini dan begitu, bahwa perempuan harus begitu dan begini, hanya akan menjadikan “perang” berkepanjangan di antara lelaki dan perempuan. Padahal daripada perang kan lebih enak kelonan. *eh

Balik lagi tentang anak-anak. Karena banyak orang tua yang tidak paham perbedaan antara jenis kelamin dan gender, sehingga konstruksi sosial ditanam-paksakan pada anak-anak. Maka lahirlah kalimat-kalimat seperti di awal artikel ini.

Kenapa pola pengasuhan seperti itu bermasalah?

Karena jenis kelamin dan gender adalah sesuatu yang berbeda.

Karena disadari atau tidak, kita sedang melakukan diskriminasi gender pada anak. Bagaimana kita bisa membangun kesetaraan gender yang proporsional jika sejak kecil mereka dibentuk jadi misoginis dan feminazi?


Diskriminasi Gender pada Anak

Banyak sekali diskriminasi gender terkait pola pengasuhan. Aku hanya akan merangkum beberapa.

  1. Emosi Anak

Emosi, Pak, Buk, adalah “program” bawaan manusia. Sudah terinstal dalam otak dengan sendirinya. Lelaki dan perempuan memiliki ini. Jika anak perempuan bisa merasa sedih, begitu juga anak lelaki. Jika anak lelaki bisa merasa marah, begitu juga anak perempuan. Dan seterusnya.

Manusia dan otaknya juga memiliki program lain untuk mengekspresikan emosi. Misalnya menangis ketika sedih, tertawa ketika gembira, berteriak ketika marah, dan sebagainya. Cara mengekspresikan emosi setiap manusia berbeda, tapi memiliki pola yang nyaris sama.

Kita sebagai orang tua tidak bisa dan tidak akan bisa meng-uninstal program ini dari manusia, dari anak-anak kita. Karena jika itu kita lakukan, berarti kita tengah mencerabut kemampuannya untuk bertahan hidup dan mengembangkan kemampuan sosial.

Mengatakan pada anak lelaki agar mereka tidak merasa sedih dan tidak perlu menangis sama seperti kita memintanya menjadi bukan manusia. Mengatakan pada anak perempuan agar mereka tidak boleh marah karena mereka perempuan sama seperti kita memintanya menjadi bukan manusia.

“Tapi kan anak lelaki harus kuat bla bla bla.”

Lho, sejak kapan menangis menjadi simbol kelemahan? Dan sejak kapan hanya anak lelaki yang harus kuat? Anak perempuan juga harus kuat karena kehidupan yang bangsat ini tidak akan pernah pandang bulu, tidak akan memandang jenis kelaminmu.

“Tapi kan anak perempuan harus lemah lembut.”

Maksudnya perempuan tidak boleh marah-marah, gitu? Ya ampun, memangnya anak perempuanmu virtual assistant atau artificial intelligence? Oh, hallo, Cortana!

Pemahaman (atau sudut pandang?) bahwa lelaki harus kuat dan perempuan harus seperti putri kerajaan adalah konstruksi gender yang sebetulnya tidak tepat tapi terus dipaksakan.

Mengenali dan Mengelola Emosi Tahukah kau bahwa memaksa anak untuk begitu saja meredam emosi dan tidak memperbolehkan mereka mengekspresikannya hanya karena jenis kelamin mereka, justru akan membawa masalah di kemudian hari? Kita tidak sedang membuat anak-anak kuat atau lemah lembut. Sebaliknya, justru membuat mereka sakit jiwa.

Nah, alih-alih mendikte mereka tidak boleh ini dan itu, harus ini dan itu, mengapa kita tidak mengajari mereka untuk mengenali dan mengelola emosinya? Itu jauh lebih baik dan solutif.

Bagaimana caranya? Ada banyak buku dan artikel tentang ini, aku tak punya kapabilitas untuk menjelaskan, jadi kau bisa mencarinya sendiri.

  1. Memasak

Kenapa sih memasak selalu diidentikkan dengan perempuan?

Pak, Bu, memasak atau mengolah bahan-bahan mentah menjadi sesuatu yang bisa dimakan adalah life skill. KEAHLIAN UNTUK BERTAHAN HIDUP. Baik lelaki maupun anak perempuan harus punya ini. Ini pengetahuan yang sudah ada sejak zaman manusia purba, pengetahuan yang menjadikan kita Homo Sapiens masih ada sampai hari ini.

Bagaimana jadinya jika kita sebagai manusia yang mengaku modern ini hanya mengajarkan memasak pada anak perempuan sementara anak lelaki dibiarkan? Bukankah sama artinya sedang membuat anak lelaki kita tidak bisa bertahan hidup?

Atau jangan-jangan ini adalah konspirasi depopulasi terselubung? *eh

Kesimpulannya, anak lelaki dan perempuan perlu diajari memasak. Perihal apakah setelah dewasa mereka tidak bisa atau tidak berminat ya itu lain urusan.

  1. Pekerjaan Domestik

Sama halnya dengan memasak, entah kenapa beres-beres rumah dan pekerjaan domestik lainnya selalu dibebankan pada anak perempuan.

Hanya karena kita terbiasa dengan pembagian gender lelaki bekerja dan perempuan mengurus rumah, bukan berarti keahlian melakukan pekerjaan domestik hanya diperlukan oleh perempuan. Anak lelaki juga perlu diajari ini.

Karena anak-anak kita bukan anak keluarga Bakrie, jadi baik anak lelaki dan perempuan perlu diajari dan diberi tanggung jawab untuk mengerjakan pekerjaan domestik. Mencuci piring, nyapu, ngepel, mencuci baju, nyetrika, dan lain-lain.

Sekali lagi, ini adalah keahlian bertahan hidup. Akan sangat berguna bagi mereka di masa depan. Lebih jauh lagi, kita sedang mempersiapkan anak lelaki kita menjadi suami dan ayah idaman. Bukan suami brengsek yang memperlakukan istrinya sebagai pembantu rumah tangga.

  1. Minat dan Bakat

Ada anak lelaki yang sejak kecil tertarik dengan tata rias dan dunia fesyen. Ada anak perempuan yang sejak kecil tertarik pada alutsista dan mainan perang-perangan.

Boleh? Ya boleh, kenapa tidak? Siapa tahu anak lelaki kita bisa jadi MUA atau fashion designer terkenal. Siapa tahu anak perempuan kita bisa jadi tentara dan membela negara.

“Tapi kan tata rias untuk perempuan, gimana kalau anakku jadi gondek?”

Coba kita telaah (ehem, telaah) perspektif tadi dari kacamata anak. Ketika anak lelaki dilarang berminat pada tata rias dan ditanamkan pemahaman bahwa tata rias hanya untuk perempuan, dia akan berpikir bahwa untuk terus menekuni minatnya maka dia harus jadi perempuan. Justru kitalah yang membuat dia jadi gondek.

Jadi ya sudah biarkan saja. Dia bisa jadi penata rias dan tetap menjadi laki-laki. Toh tak ada yang salah dengan itu.

“Kalau jadi homo gimana?”

Gini ya, Bu, Pak. Orientasi seksual spektrumnya sangat luas. Tugas kita adalah membuat anak-anak agar tidak kebingungan. Lagian, mana ada seseorang jadi homo hanya karena jadi fashion designer?

“Tapi masa anak perempuan mainnya perang-perangan dan bercita-cita jadi tentara?”

Tahukah Anda bahwa di Bumi ini ada yang namanya tentara perempuan dan polisi perempuan? Ada yang salah dengan itu? Tentu tidak.

Jadi kalau anak perempuanmu lebih suka main tembak-tembakan ya sudah biarkan saja. Tak usah memaksakan konstruksi sosial (salah pula) pada mereka hanya karena jenis kelaminnya.

  1. Mainan

Apa sih fungsi mainan untuk anak-anak?

Merangsang kemampuan motorik, media edukasi, perkembangan otak, dan sebagainya.

Tapi tahukah Anda bahwa mainan tidak memiliki jenis kelamin? Anak lelaki boleh bermain boneka kalau mereka mau. Anak perempuan boleh bermain mobil-mobilan kalau mereka mau.

Anak lelakiku, Aksa, sejak kecil selalu memilih mainannya sendiri. Dia tidak tahu mana “mainan untuk anak laki-laki” dan “mana mainan untuk perempuan”. Aku tidak pernah mengintervensi kecuali urusan harga.

Dengan sendirinya, dia memilih mobil-mobilan, kereta api, robot, building block, pesawat, pistol-pistolan. Tapi Aksa juga punya Gogog, boneka singa soulmate yang selalu dibawa ke mana-mana dan aku tidak melarangnya. Dia juga bermain masak-masakan dan berminat membantuku di dapur.

Orang-orang kerap mengatakan, “Kok anak cowok main boneka?”

Dan aku dengan senang hati menjawab, “Persetan dengan kalian. Anak lelakiku boleh bermain dan berteman dengan boneka kalau dia mau.”

Perlakuan yang sama juga aku berikan pada kakak perempuannya, Salwa. Dengan sendirinya Salwa memilih boneka barbie dan segala macam “mainan anak perempuan”.

Preferensi mainan keduanya masih menjadi misteri bagiku. Maksudku begini, kita sebagai orang dewasa kerap mengkategorikan mainan sebagai mainan untuk anak lelaki dan untuk anak perempuan. Kita kerap takut dan panik ketika anak-anak memilih mainan untuk jenis kelamin berbeda sehingga melakukan intervensi-intervensi yang tidak perlu.

Padahal, tanpa intervensi pun, hal itu terjadi secara alamiah. Katakanlah, sesuai jenis kelaminnya. Tapi kalaupun ada anak perempuan yang lebih suka mobil-mobilan atau anak lelaki yang suka main boneka misalnya, memangnya kenapa?

Jika kita memaksakan konstruksi gender pada benda yang seharusnya menjadi media edukasi dan merangsang perkembangan otak anak, justru kita membuat mereka bingung.

  1. Pakaian

Pakaian anak lelaki dan perempuan memang berbeda. Dalam hal fungsi keduanya sama: melindungi tubuh anak. Juga menjadi ciri atau pembeda jenis kelamin keduanya.

Kita harus merunut sejarah fesyen kalau mau membahas kaitan antara pakaian dan gender, tapi kukira itu tidak perlu.

Kalau soal bentuk, kayaknya kita semua sepakat, yang sering jadi perdebatan adalah warna. Banyak orang berpendapat bahwa warna merah muda hanya untuk anak perempuan sedangkan warna biru untuk anak lelaki. Padahal warna tidak memiliki jenis kelamin. Warna bersifat netral.

Anak lelaki boleh memakai baju warna merah muda dan akan tetap jadi anak lelaki. Anak perempuan boleh memakai warna biru dan akan tetap menjadi anak perempuan.

Nggg … tapi sebaiknya anak-anak dipakaikan baju warna hitam saja mengingat mereka akan membuatnya kotor dalam waktu sesingkat-singkatnya.

“Kalau anak perempuan yang dipakaikan jilbab sejak bayi gimana?”

Ya terserah lah itu mah. Sepanjang tidak menghambat tumbuh kembang atau membuatnya celaka karena pakojot, kupikir tidak masalah.

Tapi, atas dasar kebebasan atau so called gender neutral, kita tidak perlu melakukan sesuatu yang ekstrem seperti mendandani anak lelaki hingga seperti perempuan dan sebaliknya. Nanti mereka malah tambah bingung.

  1. Kesempatan Mendapat Pendidikan

Pendidikan adalah hak asasi anak, baik anak lelaki maupun anak perempuan. Keduanya memiliki hak yang sama di mata hukum. Ada undang-undangnya, kau cari dan bacalah.

Perspektif bahwa anak perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi adalah sesat dan diskriminatif. Perspektif bahwa anak lelaki tak perlu sekolah karena bisa bekerja mengandalkan tenaga adalah juga sesat dan diskriminatif.

Ya aku tahu bahwa kemampuan setiap orang tua dalam memberikan pendidikan berbeda-beda. Tidak semua orang tua sanggup memberikan pendidikan setinggi-tingginya. Tapi merampas hak anak untuk mendapatkan pendidikan hanya karena jenis kelaminnya tetap saja diskriminatif.


Ocehan ini sudah terlalu panjang, jadi sebaiknya kuakhiri saja. Kesimpulannya, anak kita itu manusia, bukan boneka, boneka, boneka (kau sedang membacanya dengan nada lagu Kekeyi, ya kan?).

Pak, Bu, anak kita manusia. Jangan sampai ketidakpahaman kita terhadap jenis kelamin dan gender menjadikan mereka misoginis dan feminazi di masa depan. Hanya karena kebanalan kita, jangan sampai mencerabut hak-hak mereka, jangan sampai menanamkan trauma-trauma.

Anak kita manusia. M A N U S I A.