Di Lorong Paling Gelap
Kau mungkin bertanya-tanya, bagaimana rasanya mengidap gangguan jiwa?
Aku tak tahu mengapa menulis ini karena semakin kujelaskan, rasanya semakin sia-sia. Tapi aku tak menulis ini untukku sendiri, aku juga menulis ini untuk orang lain, orang-orang sepertiku yang tak memiliki kemampuan untuk mengungkapkan rasa sakit yang kami derita.
Pun, aku tak menulis ini untuk mendramatisasi apalagi meromantisasi. Sebab percayalah, tak ada hal romantis dari punya penyakit jiwa. Kalau bisa memilih, aku akan memilih punya otak yang sehat dan masa lalu baik-baik saja. Seperti kalian.
Tak usah pula berusaha terlalu keras untuk mengerti sebab tak ada yang bisa, bahkan diriku sendiri. Aku hanya memohon, cobalah percaya. Setidaknya, tidak menganggapku caper atau bersandiwara karena perlu kautahu, rasa sakitnya ada dan NYATA. Kumohon, sekali saja, cobalah percaya. Itu cukup bagiku.
Sebagai catatan, setiap pasien tentu merasakan hal dan gejala yang berbeda, tapi inilah yang aku rasakan.
Pernahkah kau merasa sedih? Pernahkah kau merasa marah? Pernahkah kau merasa seluruh cahaya dalam hidupmu padam hingga kau menjalaninya dalam kegelapan total?
Tentu pernah.
Tapi setelah itu kesedihan berangsur hilang, berganti senyuman, berganti kebahagiaan. Hidupmu kembali baik-baik saja.
Nah, sekarang coba bayangkan bahwa kesedihan itu TAK PERNAH HILANG. Berlangsung setiap hari, sepanjang tahun, seumur hidupmu. Kau berada di lorong gelap nan pengap. Kau tak bisa keluar, sekeras apa pun berusaha. Tak ada cahaya yang bisa menuntunmu. Tak ada udara yang bisa mengisi paru-parumu. SELAMANYA.
Itulah yang aku rasakan.
Pernahkah kau merasa bahwa kehidupan yang bangsat ini terlalu melelahkan hingga kau ingin mengakhirinya? Dengan tanganmu sendiri.
Beberapa darimu mungkin pernah. Terjadi sekali atau dua kali. Sakit, bukan?
Tapi setelah itu, kesadaran muncul dan kau kembali bersemangat untuk menjalani hidup, sebangsat apa pun itu. Kalau perlu, kau ingin hidup seribu tahun lagi.
Nah, sekarang coba bayangkan keinginan untuk mengakhiri hidup terjadi hampir setiap hari. Kau bertarung melawan setan-setan di kepalamu every.single.fucking.day. Karena terjadi secara terus-menerus, tak ada waktu dan tenaga untuk sekadar menyadarkan diri. Bisakah kau bayangkan rasa sakitnya?
Itulah yang aku rasakan.
Pernahkah kau merasa diabaikan, ditinggalkan, atau merasa orang-orang tidak menyukaimu dan kau pun tak menyukai mereka?
Tentu pernah.
Tapi tidak dengan setiap orang dan tidak berlangsung lama. Setelah itu kau kembali bermasyarakat, kembali merasakan dicintai oleh keluarga dan teman-temanmu.
Nah, sekarang coba bayangkan jika otakmu terus berpikir bahwa kau sendirian. Sebanyak apa pun orang yang peduli dan menyayangimu kau terus menganggap mereka sedang menikamkan pisau di punggungmu. Kau tak bisa BERPIKIR sebaliknya karena otakmu memproses hubungan antarmanusia dengan cara berbeda. Kau menjauh dari keluargamu sehingga mereka pun menjauh darimu. Kau berlari dari teman-temanmu hingga mereka pun tak mau berteman denganmu.
Itulah yang terjadi padaku.
Pernahkah kau berada dalam hubungan yang tidak stabil? Pernahkah kau merasa bahwa pasanganmu sedang bersiap meninggalkanmu? Pernahkah kau melakukan hal-hal tolol hanya untuk menarik perhatiannya?
Tentu pernah.
Tapi kau -dan otak sehatmu- punya kemampuan untuk menyelesaikan itu. Entah itu menyelesaikan masalah atau hubungan. Pun, kau punya kendali untuk tidak melakukan sesuatu yang kelak kausesali.
Nah, sekarang coba bayangkan jika SETIAP hubungan yang kaumiliki adalah neraka. Bukan karena itu benar-benar terjadi, tapi karena kau berpikir demikian. Karena kau sedemikian takut ditinggalkan, kau melakukan hal-hal tolol dan membahayakan untuk sekadar menarik perhatian pasangan. KAU TIDAK PUNYA KENDALI. Kau bahkan rela terjun dari jembatan penyebrangan atau membuat dirimu dilarikan ke UGD hanya karena pasanganmu tidak membalas pesan. Tolol, bukan? Memang.
Itulah yang terjadi padaku. Pada otak keparatku.
Pernahkah kau merasa malas mandi, sulit tidur, dan tidak punya selera makan? Pernahkah kau membiarkan rumahmu berantakan hanya karena kau sedang sibuk dengan pekerjaan atau sekadar malas dan ingin rebahan?
Tentu pernah. Sesekali.
Tapi setelah itu segala sesuatunya kembali seperti biasa. Kau akan makan dan menikmatinya. Kau akan tidur teratur sebagaimana manusia. Mandi, beres-beres, melakukan hal-hal normal lainnya.
Nah, sekarang coba bayangkan jika itu terjadi selama berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Kau tidak mau makan, tidak bisa tidur, merasa tidak perlu mandi, dan persetan jika rumahmu berubah jadi tempat sampah. Kau tidak peduli pada tubuhmu, kau tidak peduli pada lingkunganmu. KAU KEHILANGAN FUNGSI SEBAGAI MANUSIA.
Itulah yang terjadi padaku.
Pernahkah kau merasa kesulitan berkonsentrasi ketika melakukan sesuatu? Kau tidak bisa fokus karena ada yang mengganggu.
Tentu pernah. Pun tidak setiap saat.
Tapi setelah itu, setelah tidak ada gangguan, konsentrasimu kembali. Kau bisa bekerja atau melakukan hal lain tanpa kendala.
Nah, sekarang coba bayangkan jika gangguan konsentrasi itu terjadi dalam setiap hal, yang paling sederhana sekalipun. Untuk sekadar mengikat tali sepatu atau membuat secangkir kopi, otakmu harus bekerja sedemikian keras. Jangan tanya bagaimana caranya fokus untuk melakukan sesuatu yang berguna seperti bekerja untuk mencari nafkah. Gangguan itu tidak berasal dari luar, melainkan suara-suara yang bergaung dalam kepalamu. Suara-suara yang menjadi hantu.
Itulah yang terjadi padaku.
Pernahkah kau melupakan sesuatu? Benda atau peristiwa. Atau nama mantan.
Tentu pernah.
Otak manusia dibekali sistem auto-delete dan defrag. Berfungsi menyimpan, mengatur, dan membuang memori/informasi yang dirasa tidak perlu. Sebab kalau tidak, kita semua bisa gila.
Nah, sekarang coba bayangkan jika sistem itu mengalami kekacauan. Saking kacaunya, bahkan informasi sederhana seperti arah menuju rumahmu bisa terhapus begitu saja. Sialnya, kau justru mengingat hal-hal yang seharusnya sudah kaulupakan. Seakan-akan itu belum cukup, memori/informasi dalam otakmu bercampur antara hal yang NYATA dan yang tidak. Kau kesulitan membedakan mana peristiwa yang betul-betul terjadi dan mana yang hanya ilusi dalam kepalamu sendiri.
Itulah yang terjadi padaku. Pada otak keparatku.
“Halah, gitu doang. Aku pun mengalaminya tapi gak lantas sakit jiwa. Banyak orang yang bahkan lebih menderita darimu. Kamu tuh harusnya bersyukur. Gak usah lebay.”
Well, you know what? Persetan denganmu dan rasa syukurmu yang palsu itu!
Berjuang Sendirian
Ketika menulis ini, aku sedang berjuang sendirian dan berobat ke psikiater. Bukan karena “perasaanku saja”, tapi betul-betul sendirian. Keluargaku menjadi salah satu sumber trauma, jadi aku memilih untuk tidak melibatkan mereka. Kalaupun kuberitahu, kemungkinan besar mereka akan menganggapku sinting (selama ini pun sudah) atau menyeretku ke dukun untuk diruqyah.
“Kok sudah pesimis? Kan belum dicoba.”
Dengar, aku tak ingin mengambil risiko memperparah penyakitku dengan melibatkan mereka. Oke?
Satu-satunya keluarga yang kumiliki saat ini adalah anakku Aksa. Dan jangan coba-coba memberiku semangat dengan mengatakan hiduplah untuknya. Itu hanya akan membuatku kesal. (Lah kok marah-marah?) 😅
Teman?
Aku kesulitan menyikapi hubungan interpersonal dengan mereka. Banyak orang, teman-teman yang sebetulnya tidak terlalu dekat memberikan dukungan, moral dan materi. Aku sangat berterima kasih karenanya. Tapi itu tidak terjadi terus-menerus dan aku mengerti sebab toh mereka juga punya masalah sendiri.
Anehnya, teman-teman terdekatku justru yang pertama pergi. Beberapa malah menjadi sumber trauma dan sampai saat ini membuatku ketakutan memulai hubungan lagi. Aku juga mengerti, berteman dengan orang sepertiku bukanlah hal mudah.
Pasangan?
Memiliki pasangan adalah neraka. Di satu sisi, aku menganggap mereka semua bajingan, di sisi lain merasa diriku memang tak pernah layak untuk lelaki mana pun. Karena penyakitku, aku kerap memilih pasangan dan berada dalam hubungan penuh risiko. Mereka yang pergi, atau aku yang mendorong mereka pergi.
Setiap kali itu terjadi, semakin sakitlah aku. Semakin aku sakit, semakin sering aku menjebak diriku dalam hubungan tak sehat. Begitu terus, lingkaran setan yang tak pernah usai.
Tapi kalau harus jujur, terus terang aku membutuhkan “caregiver”. Orang yang benar-benar ada di sini, di sampingku. Bukan sekadar kawan yang sesekali bertukar kabar lalu kembali menjalani kehidupan masing-masing. Bukan pula hubungan jarak jauh dengan tagline jauh di mata asal bisa coli dekat di hati atau hubungan yang penuh ketidakpastian. Taik kucinglah itu semua!
“Kan ada Aksa.”
Kau ingin kugampar ya? (Eh marah-marah lagi) 😂
Dengar, selain memikirkan kesehatan mentalku sendiri, aku juga harus memikirkan kesehatan mentalnya. Menjadi anak dari ibu dengan gangguan mental sudah cukup membuatnya harus ke psikolog anak sebab aku tak tahu trauma macam apa yang sudah kusebabkan.
“Jadi, suami maksudnya?”
Bisa dibilang begitu. Aku sadar betul, memiliki hubungan dengan penyakit seperti ini adalah berjudi dengan risiko yang teramat besar. Aku juga kerap merasa bahwa ini tidak adil bagi pasanganku nanti. Aku yang sakit jiwa kok mereka yang harus repot?
Sesuai saran dari psikiater, memiliki hubungan yang stabil bisa menjadi terapi. Setidaknya, bisa membantuku kembali berfungsi sebagai manusia. Setidaknya, ada MANUSIA DEWASA yang bisa kuajak bicara agar aku tak terlalu sering ngobrol dengan rice cooker. Setidaknya, aku tak harus berjuang sendirian. Setidaknya, ada teman seperjalanan dan tangan yang bisa kugenggam.
Sebetulnya aku takut karena seperti yang sudah kukatakan, aku takut kembali memulai lingkaran setan. Tapi jauh di dalam sini, ada titik kecil pelita bahwa suatu hari, akan ada pangeran berkuda lelaki yang cukup “gila” dan rela memiliki istri sepertiku.
Sampai saat itu tiba, tugasku adalah menjaga diri dan tetap waras. Sebisaku. Semampuku.
Entahlah …
Lorong di dalam kepalaku ini sudah terlalu gelap dan pengap, kawan. Aku akan semakin jauh tersesat jika tak segera diselamatkan.
Jadilah Larik Cahaya
Jika orang yang kausayangi (keluarga, teman, atau pasangan) sedang berada di lorong gelap sepertiku, kau punya banyak pilihan: tetap tinggal atau pergi atau berpura-pura tidak tahu. Itu hakmu. Sebab rasa sakit kami bukan tanggung jawabmu.
Namun jika aku boleh memohon, tolong tetaplah tinggal. Aku tahu, mendampingi orang-orang sepertiku akan terasa melelahkan. Amat sangat melelahkan. Tapi keberadaanmu akan sangat membantu.
Kumohon, jadilah larik cahaya agar mereka -orang yang kausayangi- sanggup keluar dari lorong tergelapnya.
Kau tak perlu berusaha menerka penyebab atau merunut trauma yang mereka alami. Ya, kau perlu tahu diagnosisnya, tapi -sekali lagi-, tidak dengan menerka-nerka. Itu tugas dokter, bukan caregiver. Yang jelas, otak kami bekerja dengan cara berbeda. Bukan karena kurang iman atau karena kami terlalu jauh dari Tuhan. Cukuplah percaya dan bantu mereka mencari pertolongan. Pertolongan medis, BUKAN DUKUN!
Kumohon, jadilah larik cahaya agar mereka -orang yang kausayangi- sanggup keluar dari lorong tergelapnya.
Kau tak perlu bertindak sebagai terapis atau konsultan jika bukan psikolog/psikiater dan perlu kutegaskan, JANGAN PERNAH mengintervensi proses pengobatan jika kau bukan profesional. Cukup temani, jangan pernah pergi.
Kumohon, jadilah larik cahaya agar mereka -orang yang kausayangi- sanggup keluar dari lorong tergelapnya.
Kau tak perlu berpura-pura mengerti rasa sakit yang kami derita. Juga tak perlu BERPURA-PURA mengalami rasa sakit yang sama. Sebab untuk apa? Cukuplah dengan selalu ada. Berjuanglah dengan mereka, sesanggup yang kau bisa.
Kumohon, jadilah larik cahaya agar mereka -orang yang kausayangi- sanggup keluar dari lorong tergelapnya.
Maka aku akan berterima kasih kepadamu karena telah menjaga orang-orang sepertiku. Aku tahu, proses penyembuhannya akan teramat lama dan melelahkan. Tapi percayalah, ikut berjuang sampai dengus napas penghabisan jauh lebih baik daripada kehilangan orang yang kausayangi sementara kau tidak melakukan apa-apa.
Kumohon, jadilah larik cahaya agar mereka -orang yang kausayangi- sanggup keluar dari lorong tergelapnya. Tetaplah ada dan jangan tinggalkan mereka.
Kumohon …