Gelombang Kesekian
Jantungku berdetak lebih cepat. Napasku mulai tersenggal. Suhu tubuh meningkat. Di saat bersamaan, aku mulai berkeringat dan menangis sambil gemetar. Gelisah, takut, dan panik.
Gejala baru. Rasa sakit baru.
Aku tahu, menunda dan terus mengulur-ulur pengobatan hanya akan membawaku pada mala petaka. Tapi aku juga tahu bahwa memang tak banyak yang bisa kulakukan.
Selama tiga bulan nyaris stabil, aku sudah bertekad untuk membereskan satu per satu benang kusut dalam hidupku agar bisa fokus pada pengobatan. Kalau perlu, rawat inap di rumah sakit jiwa. Sialnya, sebagaimana hidup di tengah amuk badai, gelombang baru datang bahkan sebelum gelombang sebelumnya usai.
Aku … kembali tenggelam.
Bedanya, gelombang kali ini tidak dipicu oleh apa-apa. Setidaknya, bukan dipicu oleh masalah personal. Aku tengah menulis artikel untuk klien. Mula-mula tidak terjadi apa-apa, tapi ketika ingat bahwa tulisan harus diserahkan satu jam kemudian, aku mulai panik tak terkendali.
Tik tak jarum jam menjadi siksaan. Tenggat waktu menjadi hal yang merajam-rajam.
“Oh, mungkin kamu tidak bisa bekerja dalam tekanan.”
Bisa jadi.
Atau aku memang tak akan bisa bekerja sama sekali. Ah sial!