Kami Korban Kekerasan Seksual, Tapi Mengapa Kami Dipaksa Diam?

Trigger warning: mengandung kronologi pelecehan seksual eksplisit.

Hari itu bus kota yang kutumpangi sedang penuh-penuhnya. Karena tidak ingin terlambat sampai ke tujuan aku terpaksa masuk dan ikut berdesakan. Tas punggung kupindahkan ke depan dengan maksud untuk menghindari kecopetan. Tapi aku tak tahu bahwa bahaya bisa datang dari arah mana saja. Tak pernah tahu.

Panas dan pengap bukan masalah besar jika dibandingkan yang terjadi kemudian. Di sepertiga perjalanan, aku mulai merasakan ada sesuatu yang bergerak di belakangku. Bukan, bukan karena bus yang bergoyang-goyang tak menentu. Gerakan ini konstan, menyentuh -oke, kusebutkan saja- pantatku.

Saat itu usiaku 17 tahun, belum pernah pacaran, masih perawan, dan hanya pernah menonton bokep satu kali. Nggg … tapi jangan tanya tentang asupan bahan bacaan mah. Ini penting kusebutkan karena menyangkut keputusan penting yang kelak kuambil.

Karena penasaran dan takut, aku menoleh ke belakang secara perlahan. Dan di situlah, sesosok lelaki dewasa berdiri begitu dekat di belakangku. Begitu aku menurunkan pandangan, ritsleting celananya terbuka, ia tengah memegang penisnya. Penis yang sebelumnya disodok-sodokkan ke bagian belakang tubuhku. Di sana, di atas bus kota yang penuh manusia.

Aku ketakutan, lututku gemetar. Ingin sekali menangis dan berlari ke pantai keluar. Ingin sekali berteriak dan meminta pertolongan. Tapi sebelum aku melakukan apa-apa, si bangsat itu lebih dulu menyeringai. Baginya aku adalah korban dan dia menikmati itu, menikmati rasa takutku.

Jadi alih-alih menangis dan ketakutan, aku mengambil keputusan yang berbeda. Di dunia ini, di antara sesama manusia, setiap kita bisa menjadi mangsa atau pemangsa. Dan aku menolak menjadi mangsa.

Terus terang, itu penis lelaki dewasa pertama yang kulihat secara live. Tapi aku tak mau ia tahu itu. Maka dengan wajah yang dibuat serese mungkin dan suara keras, aku berkata:

“Nuju naon, Kang? Naha eta kontol dikaluarkeun sagala? Na samarukna gede jeung alus kitu? Sangkilang leutik jaba hideung. Ih euweuh kaera."

(Catatan penerjemah: Lagi apa, Kang? Kenapa itu penis dikeluarin segala? Lo pikir penis lo besar dan bagus, gitu? Dih, mana kecil, item lagi. Kagak tahu malu.)

Mendengar ucapanku orang-orang menoleh. Pertama-tama kepadaku, lalu kepada lelaki itu dan penisnya.

Ternyata ada gunanya membaca Nick Carter dan Majalah Playboy edisi Singapura yang tanpa sensor sedini mungkin, setidaknya jadi tahu kalau penis ada ukurannya. *eh

Ia, si bangsat itu, terkejut dan mungkin merasa dipermalukan. Seringainya hilang. Berganti raut panik dan menyedihkan. Melihatnya sibuk memasukkan penis, aku memasang ekspresi wajah paling mengejek yang kumiliki.

Orang-orang juga mulai sadar bahwa saat itu tengah terjadi pelecehan seksual. Tapi entah mengapa tak ada yang berani mengambil tindakan sampai pelaku turun dengan terburu-buru. Kelak, perilaku orang-orang ini kukenal dengan nama bystander effect.

Beberapa menit kemudian, barulah aku terduduk lemas di lantai bus, menangis dan gemetar.


Sebetulnya, itu bukan pelecehan seksual pertama dan sialnya tidak menjadi yang terakhir. Tapi karena peristiwa lain lebih mengerikan, jadi tak perlu kuceritakan secara detail.

Aku menceritakan peristiwa itu kepada orang dewasa, orang-orang yang kupercaya. Tapi apa yang kuterima? Aku diminta diam.

Mereka bilang tak ada yang bisa dilakukan. Bagi mereka, itu peristiwa yang memalukan dan tak pantas diceritakan apalagi dilaporkan. Pun, tak ada yang mau repot-repot mengurusi trauma yang kualami.

Hal yang sama juga terjadi pada percobaan pemerkosaan setahun kemudian.

Kau tahu apa yang mereka katakan? Yang orang tua dan keluargaku katakan?

“Kan tidak terjadi, hanya percobaan. Toh kamu tidak diperkosa.”

Saat itu aku ingin sekali menjawab, “Itu tidak terjadi karena aku melawan, bangsat! Karena aku mengambil balok kayu dan siap mati andai mereka berani menyentuhku. Coba kalau tidak.”

Tapi tak ada yang mau mendengar, maka aku diam. Lebih tepatnya, dipaksa untuk diam.

Bertahun kemudian, hal yang sama terulang. Kali ini terjadi di lingkaran orang-orang yang menurutku cukup teredukasi untuk hal-hal seperti ini.

Aku mengadu, mencoba mendapatkan keadilan. Tapi apa yang kudapatkan?

“Itu urusan pribadi, organisasi tidak bisa ikut campur.”

Aku selalu diminta diam. Lebih tepatnya dipaksa untuk diam. Sialnya, setiap kali mencoba mengeskalasi ke ranah hukum, kasusku selalu dianggap ringan hingga tak pernah diproses.

Hingga aku kerap bertanya, apakah aku harus ditemukan tak bernyawa tanpa busana entah di mana agar dianggap pantas untuk meminta keadilan?

Sayangnya pertanyaanku hanya bertemu ruang kosong. Maka selama bertahun-tahun aku diam. Lebih tepatnya, dipaksa untuk diam.

Hari ini, meskipun aku tahu ceritaku tak akan mengubah apa-apa atau berkontribusi pada penyelesaian kasus serupa, aku tak akan lagi diam. Seluruh dunia bisa mencoba membuatku bungkam. Tapi aku akan melawan. Sama seperti ketika aku memegang balok kayu untuk mempertahankan kehormatanku bertahun lalu.

Mulai hari ini, aku tak akan lagi diam.


Jika kau tahu kisah hidupku secara lengkap, pelecehan dan kekerasan seksual “hanyalah” rasa sakit di ujung kuku. Meskipun begitu, dibutuhkan waktu bertahun-tahun bagiku untuk menceritakan peristiwa ini tanpa ketakutan. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun bagiku untuk melolosi luka dan trauma menjadi sesuatu yang bisa ditertawakan.

Jadi bagimu, yang belum pernah berada di posisi sepertiku, ketahuilah bahwa luka yang kami derita sudah cukup dalam. Tolong jangan tambahi dengan menyalahkan kami sebagai korban.

Dan untukmu yang pernah atau sedang berada di posisiku, aku hanya punya satu kata: LAWAN!