Sepucuk Surat Untuk Hoeda Manis

Dear Hoeda,

Sebelum kumulai, dan agar tidak terjadi salah paham, aku ingin menegaskan bahwa ini bukan rayuan. Semoga saja aku tidak termasuk dalam perempuan-perempuan menjengkelkan yang sering kau bahas dalam blogmu. :)

Tahukah kau? Ketika kita berbincang di dm tempo hari, aku tengah berada dalam neraka. Depresi (diagnosis pastinya tidak perlu kubahas di sini) membuatku kesulitan berfungsi sebagai manusia. Setiap kali itu terjadi, selain dibantu psikiater, aku harus selalu mencari cara untuk kembali stabil.

Aku punya daftar panjang metode coping mechanism. Sebut saja menggambar, membaca, olahraga, jalan-jalan, nonton film, main game, bekerja, meditasi, dan lain sebagainya.

Sayangnya, metode yang berhasil pada satu episode kambuh belum tentu berhasil di episode lainnya.

Di episode kambuh kali ini, aku sudah melakukan segala cara tapi tak ada yang sanggup meredam suara-suara di kepala. Terus terang, aku mulai mempertimbangkan untuk mencari bandar ganja atau “tukang jamu” terdekat agar bisa mabuk-mabukan. Saking sakitnya.

Untungnya itu tidak aku lakukan.

Untungnya aku lebih dulu tersesat di blogmu.

Ya, aku sudah sering mampir ke sana jauh sebelumnya, tapi kali ini berbeda.

Maka selama berhari-hari aku terus membaca dan membaca dan membaca dan membaca.

Aku tertawa terpingkal-pingkal ketika membaca tulisan tentang mengedukasi ikan koi. Selain menghibur, tulisan itu membuatku lega karena ternyata aku bukan satu-satunya manusia di dunia yang sering berbicara pada benda mati atau makhluk hidup selain manusia. Bedanya, aku lebih suka berdiskusi dengan rice cooker atau kran air atau pohon jagung. Mungkin sesekali kau pun harus mencobanya.

Walau sudah pernah kubaca di buku, tapi aku kembali terhenyak saat membaca kembali tulisan tentang kanker dan amputasi alam semesta. Membuatku mengambil perspektif berbeda tentang kehilangan demi kehilangan yang selama ini kualami.

Ngomong-ngomong, kita punya preferensi beberapa buku dan film yang sama. Tapi tidak, aku tidak mengidolakan Magneto sepertimu, aku malah punya ketertarikan berlebihan pada Wolverine.

Seiring artikel demi artikel tuntas kubaca, bersamaan dengan itu pula kesadaran berangsur datang. Kau, dan tulisan-tulisanmu, adalah larik cahaya yang menarikku dari lorong tergelap. Lorong yang berada dalam kepalaku sendiri.


Letup Api

Pernahkah kau mendengar bahwa tulisan yang bagus akan menghasilkan tulisan lainnya? Pernahkah kau mendengar bahwa penulis yang bagus akan menghasilkan penulis lainnya?

Nah, itulah yang kau lakukan padaku.

Aku penulis dan blogger. Tapi itu dulu, duluuu … sekali. Semakin hari tulisanku semakin tidak bernyawa sampai berhenti sama sekali. Aku bahkan sudah tidak bisa menulis cerpen lagi, sesuatu yang membuatku frustrasi.

Kau pasti tahu rasanya.

Setelah membaca banyak tulisanmu, aku nekad membuat blog baru ini dan memulai kembali. Aku juga meniru prinsip domain gratisan agar suatu saat aku tak ada, blog ini akan tetap ada. Meski, kira-kira dua tahun lalu Google sialan itu menerapkan kebijakan bahwa blog yang lama tidak update akan ditutup dengan sendirinya. Tapi setidaknya, usia blog gratisan seperti ini akan lebih lama.

Jika di blog lamaku isinya “sampah” semua, di blog ini aku hanya menulis sesuatu yang ingin kutulis. Dan coba tebak, kemampuan menulisku kembali. Memang, belum bisa menulis cerpen seperti dulu lagi, tapi lumayan lah.

Oh, karena belum ada ide lain untuk label, aku memberi label: life, love, dan lessons untuk beberapa tulisan. Sama seperti tagline bukumu. Semoga kau tidak keberatan. Kalau kau keberatan, aku akan mengubahnya.


Secabik Terima Kasih

Jujur, ini bukan kali pertama aku mencoba menulis sebagai coping mechanism, tapi baru kali ini berhasil. Jika dulu mencoba menulis malah membuatku semakin frustrasi, kali ini justru membuatku stabil. Dan aku harus berterima kasih padamu.

Aku yakin, aku bukan orang pertama dan satu-satunya yang pernah mengatakan ini padamu. Kukira, orang sepertimu juga tak perlu surat menye-menye seperti ini. Tapi bodo amatlah, pokoknya aku ingin menulis ini untuk mengucapkan terima kasih.

Terima kasih karena tulisan-tulisanmu menjadi larik cahaya yang menuntunku keluar dari lorong-lorong keparat itu.

Terima kasih karena tulisan-tulisanmu menjadi letup api yang membuatku berani membuat blog ini. Memang, isinya tidak inspiratif seperti milikmu, tapi dengan begini aku berani menuliskan rasa sakit yang selam ini kupendam. Rasa sakit yang selama ini hanya kusimpan.

Tulisanmu membantuku tetap hidup, sama seperti perempuan yang kau lihat di jendela kelas tempo hari.

Kapan-kapan, jika kau kebetulan datang ke Bandung atau Cimahi, berkabarlah. Aku tahu tempat ngeteh enak, dan batagor, dan mi ayam, dan soto, dan pecel lele, dan … oh kalau urusan nasi keras aku menyerah. 😂

Surat ini sudah terlalu panjang. Maka akan kututup dengan kutipan yang pasti sudah kau hafal.

Akan tetapi, juga karena keberadaan mereka mengingatkan kita pada rahasia takdir yang dimainkan alam semesta. Selalu ada sepasang sayap yang terkepak, setelah keluar dari lubang yang gelap.

Best regards,

~eL