Tamu Dini Hari
“Sejak kapan kau ada di situ?” aku tidak menoleh dari kopi yang sedang kuaduk di konter dapur, tapi tahu ada sosok di belakangku.
“Mau kopi?” aku berbalik dengan tenang, tahu bahwa malam ini akan panjang.
“Jangan mengejek,” dia duduk di salah satu kursi sambil memandangi kertas-kertas yang berserakan di atas meja di depannya. “Kau masih saja berantakan,” cibirnya, tapi tidak banyak bergerak selain memasang wajah memberengut.
“Aku mendengar tentangmu beberapa hari lalu,” kusesap kopi, bersandar di konter dapur, memasang pose sesantai mungkin tapi tetap siaga. Kalau dalam situasi biasa, aku akan menyuruhnya membuat kopi sendiri agar aku bisa kembali bekerja atau kami akan terlibat percakapan pelik dan suram tentang apa saja. Tapi tidak kali ini.
“Kabar cepat sekali tersebar,” wajahnya masih suram.
“Dengan ratusan media yang ada dan jutaan netizen lapar di luar sana? Peristiwa yang menimpamu bahkan bisa saja disiarkan langsung: livetweet.”
“Wow, aku mendengar nada simpati yang mengiris hati. Terima kasih. Mungkin aku datang pada orang yang salah,” dia menyibakkan rambutnya. Sebuah usaha sia-sia karena penampilannya tidak berubah jadi lebih baik.
“Dengar,” kuletakkan gelas kopi di konter. “Beberapa hari lalu kita memang masih berteman, tapi sepertinya situasi sudah berubah sekarang. Aku turut berduka atas apa yang terjadi padamu, sedikit merasa sedih, hanya itu, tak bisa lebih.”
Dia mengalihkan pandangan ke luar jendela, membuat sebelah wajahnya yang remuk tak berbentuk menjadi terlihat lebih jelas dari tempatku berdiri. “Aku mau minta tolong, kau mau menolongku?”
“Tentu saja,” aku mengangguk. “Jadi katakan dengan cepat, siapa yang membunuhmu?”
(Cimahi, 13 November 2015)